Kamis, 18 Maret 2010

Tiga Macam Orang yang Boleh Poligami

VIVAnews - Beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan club poligami. Berikut ini gambaran bagaimana orang salah memahami hak dalam poligami. Seorang pegawai perusahaan swasta bermaksud poligami. Ia seorang sarjana ekonomi yang baru akrab dengan agama setelah bergaul dengan rekan sekerja yang kebanyakan taat beragama dan agak “fundamentalis.”


Lingkungan pergaulannya adalah masyarakat profesional, tetapi mereka mempunyai corak keberagamaan yang cukup kental, dengan menonjolkan simbol-simbol tertentu, seperti salat awal waktu, memelihara jenggot dan juga poligami. Di lingkungan grup pengajiannya, poligami dipandang sebagai sunah Nabi yang dianjurkan, sehingga dia dengan semangat mengikuti sunnah Nabi juga bermaksud nikah lagi.

Sementara isterinya berasal dari lingkungan masyarakat pesantren, yang juga taat beragama, tetapi simbol-simbol keberagamaannya berbeda dengan lingkungan pengajian suaminya. Isterinya lebih respect kepada kiai di pesantrennya dibanding guru mengaji suaminya yang insinyur.

Dalam hal rencana nikah lagi, terjadi peselisihan hebat antara suami isteri itu, dan menariknya masing-masing berdalil dengan agama. Suami menganggap rencana nikah lagi itu sebagai perwujudan dari mengikuti sunnah Rasul, sementara isteri memandangnya sebagai akal bulus, yakni menjadikan agama sebagai kedok untuk mencari kepuasan syahwat.

Karena keduanya memang orang yang patuh kepada agama, maka pertentangan pendapat suami isteri itu disepakati untuk mencari pembenarannya. Suami memanggil guru ngajinya untuk menasehati isterinya agar patuh kepada suami, sementara isterinya mengajak suaminya silaturrahmi kepada gurunya di pesantren, sekaligus untuk meminta nasihatnya tentang rencana nikah lagi itu. Sang isteri pergi dengan semangat karena yakin pasti Pak Kiai, gurunya di pesantren itu pasti ada di pihaknya, dan sang suami juga semangat, karena yakin bahwa Pak Kiai itu lebih mengerti tentang keharusan mengikuti sunnah Rasul, apa lagi Pak Kiai juga berpoligami.

Anatomi Masalah

Sebenarnya, sang isteri tidak bersedia dimadu, lebih didorong oleh perasaanya sebagai wanita. Ia tidak begitu antipati terhadap poligami, karena ia sendiri adalah putri dari isteri muda seorang kiai, dan ia merasa oke-oke saja berhubungan dengan saudara-saudara tiri dan bahkan ibu tirinya.
Akan tetapi dalam hal rencana nikah lagi suaminya, disamping secara naluriah ia tidak bisa menerima, ia juga tidak percaya terhadap otoritas guru ngaji suaminya yang selalu menekankan kewajiban seorang isteri harus patuh kepada suami. Di mata sang isteri guru suaminya itu bukan orang alim, sebagaimana juga suaminya, meskipun mereka itu sarjana dan profesional, tetapi bukan dalam bidang agama.

Sementara itu, sang suami yang baru kenal agama setelah berada di lingkungan kerja baru itu merasa bahwa poligami itu mengandung nilai keutamaan agama. Ia bermaksud nikah lagi dengan semangat ibadah, dan sudah barang tentu ada juga motif kepada pengalaman baru hubungan seksual, tetapi ia sama sekali tidak mau terima jika dituduh isterinya bahwa rencana nikah lagi itu hanya akal bulus saja untuk mencari kepuasan seksual.

Ia bahkan tidak pacaran dengan calon isteri keduanya itu, karena calon isterinya itu adalah orang yang dikenalkan oleh guru ngajinya. Oleh karena itu ia tanpa ragu sedikitpun untuk memenuhi permintaan isterinya silaturrahmi kepada pak kyai di pesantren.

Pasangan suami isteri itu kemudian mendatangi penulis, dan meminta penulis untuk mengantar mendampingi mereka ke desa di mana kyai itu memimpin pesantrennya.




___________________________________________________

* Achmad Mubarok adalah Guru Besar Psikologi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Mubarok juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat.